KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PROGRAM PEMBERANTASAN DENGUE
HAEMORRAGIC FEVER
DI KOTA KUPANG TAHUN 2006
Nurpaidah, Serlie Littik, Hyron A. Fernandez
Jurusan
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas
Kesehatan Masyarakat
A
|
BSTRACT, Up to the present
time, the disease of Dengue Haemmoragic Fever (DHF), henceforth, DHF has become
a public health problem for Kupang people. Fairly-high degree of DHF case found
every year. Limited fund from Kupang City government for DHF program has become
an obstacle in decreasing and combating the DHF in Kupang City. It is worth remembering
that the DHF program is one of the Kupang City City government’s essential
programs. This research aimed at knowing the finance policy program on
combating DHF in Kupang City Year 2006. The research is a policy research in
nature. The result of the research shows that the number of equipment and that
of health perssonel at the health office and the advisory service for the
combating of DHF were inadequate. Most fund resource for the combating of the
disease in Kupang city year 2006 was from the debt of DHS-2 as much as 45,25%.
The fund allocation for such a program in Kupang City year 2006 was as much as
3,28% from the total fund source of Kupang City Health Office and Advisory
Service. The total fund covered operational budget (99,35%) and maintenance
budget (0,65%). The budget for the normative program for combating DHF in
Kupang city year 2006 was calculated by the use of the so-called Method of
Ingredient Approach; and it was 1,83% of the total fund resource. The total
fund covered operational budget of 76,72%, maintenance budget of 6,78%band
investment or capital budget of 16,49%. It can be concluded that although the
amount of fund allocation at that time was more than the normative budget for
the combating of DHF, the number of IR case and the one of CFR remain high
comparing with the national standard of IR and CFR. Further or follow-up
researches on such cases, accordingly, need to be done in order that any
improving attempt can be done to avoid inefficiency of fund allocation.
Keywords :
Resources, Cost Analysis and Budgeting
PENDAHULUAN
Sistem Kesehatan dibedakan menjadi
sub-sistem pembiayaan (health care financing system) dan sub-sistem pemberian pelayanan kesehatan
(health care delivery system). Sub-sistem pemberian pelayanan kesehatan
sangat sentral perannya, akan tetapi keberhasilan sub-sistem ini sangat
tergantung pada sub-sistem pembiayaan (Mukti, 2007).
Biaya pelayanan kesehatan di Indonesia
sebelum 2,5% dan sesudah krisis 1,7% masih jauh dari anjuran Organisasi
Kesehatan Sedunia yakni paling sedikit 5% dari GDP per tahun. Di Provinsi NTT, anggaran Pemda
untuk alokasi pembiayaan kesehatan pada tahun 2007 hanya 10,36% dari APBD,
persentase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan alokasi pembiayaan
kesehatan pada tahun 2006 sebesar 12,04%. Dari anggaran ini porsi terbesar
diberikan kepada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof.DR.W.Z Johannes Kupang
sebesar 76.61%, Dinas Kesehatan Provinsi sebesar 20,51%, Unit Pelaksana Teknis
Dinas (UPTD) Pelatihan Tenaga Kesehatan sebesar 1,52%, UPTD Laboratorium
Kesehatan sebesar 1,32% serta untuk Bantuan Langsung sebesar 0,65%. Padahal
dengan persentase yang kecil ini harus dapat menangani permasalahan kesehatan
yang ada dengan jumlah penduduk sebesar 4.355.121 jiwa. Selain itu juga,
rendahnya alokasi biaya kesehatan merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu
pelayanan kesehatan.
Sumber
pembiayaan kesehatan Kota Kupang pada tahun 2006 berasal dari Bantuan Luar Negeri dan Anggaran Pemerintah Pusat. Untuk
bantuan Luar Negeri berjumlah lebih banyak digunakan untuk biaya intervensi dan biaya pemeliharaan Sedangkan sumber pembiayaan dari Pemerintah Pusat lebih banyak digunakan untuk biaya modal/investasi. Padahal di era desentralisasi ini, diharapkan
peranan APBD terhadap pembiayaan kesehatan harus lebih besar dibandingkan APBN.
Masalah lainnya yakni terbatasnya biaya untuk program Dengue Haemorragic Fever (DHF). Biaya standar untuk pemberantasan
DHF adalah Rp1.837.349.130, tetapi tidak direalisasikan sesuai dengan standar
yang ada, pada hal DHF merupakan salah satu program pelayanan kesehatan
esensial dari pemerintah Kota Kupang (Dinkes Kota Kupang, 2005).
Daud (2006) dalam penelitiannya
menemukan bahwa keterbatasan dana untuk
program DHF menjadi satu kendala untuk menurunkan dan memberantas kasus DHF di
Kota Kupang. Sampai sekarang penyakit
DHF masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Kota Kupang, dimana setiap
tahunnya ditemukan kasus DHF dengan jumlah kasus yang cukup tinggi. Angka Insiden Rate (IR) dan Case Fatality Rate(CFR) lebih besar dari Standar Nasional yaitu IR sebesar 1 per 100.000 dan CFR
sebesar < 1%. Hal ini dapat dilihat dari tabel
berikut ini:
Tabel I.1 Jumlah
kasus DHF beserta IR dan CFR di Kota Kupang Tahun 2003-2007
Tahun
|
Jumlah
kasus
|
IR
|
CFR
|
2003
|
643
|
256
|
1,71%
|
2004
|
681
|
264,3
|
1,76%
|
2005
|
646
|
243,7
|
1,70%
|
2006
|
260
|
94,5
|
1,54%
|
2007
|
511
|
180
|
1,57%
|
Sumber : Dinkes Kota Kupang
METODE PENELITIAN
Jenis atau rancang bangun penelitian
ini adalah Policy Research (Metode
penelitian kebijakan). Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Kupang
Provinsi NTT pada Bulan Desember 2008 sampai Bulan
Juni 2009. Data
sekunder diambil dari dokumen-dokumen yang ada pada Dinas Kesehatan Kota Kupang maupun dari
instansi lain dan telaah literatur kepustakaan yang relevan dengan penelitian
ini. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini
yakni Form analisis pembiayaan
program DHF oleh Bhisma Murti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumber Daya Program Pemberantasan DHF
a. Sarana Kesehatan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
diketahui bahwa jumlah sarana diperlukan dalam program pemberantasan DHF sangat
terbatas. Padahal dalam perencanaan pemberantasan DHF diperlukan sarana dalam
menunjang upaya kesehatan yang dilaksanakan. Seperti hasil penelitian Daud
(2006), salah satu petugas kesehatan di Dinkes Kota Kupang mengatakan bahwa
logistik yang ada di Dinkes Kota Kupang terbatas sehingga hal ini menjadi
kendala untuk memberantas DHF di Kota Kupang. Kurangnya sarana disebabkan oleh
karena biaya yang ada sangat terbatas sehingga alokasi biaya untuk tiga tahun
terakhir ini lebih diprioritaskan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang
langsung mengenai sasaran, seperti penyuluhan dan PE. Kurangnya sarana mengakibatkan
terhambatnya kegiatan yang dilakukan petugas, misalnya ketika melakukan
kegiatan PE ditemukan jentik sehingga harus ditaburkan abate, tetapi abatenya
tidak ada. Keadaan seperti ini menjadi suatu hambatan untuk memberantas DHF di
Kota Kupang.
b. Tenaga kesehatan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
diketahui bahwa jumlah tenaga kesehatan yang ada di Dinas Kesehatan Kota Kupang
masih kurang. Karena jumlah
tenaga yang tersedia masih kurang maka tenaga pengelola program DHF di Kota
Kupang hanya ada satu orang yang sekaligus merangkap sebagai pengelola program
TB. Kurangnya tenaga di Dinkes Kota
Kupang menyebabkan seorang petugas harus diberikan tanggung jawab untuk
memegang lebih dari satu program. Keterbatasan
jumlah tenaga kesehatan di Kota Kupang menjadi salah satu kendala untuk memberantas
DHF, seperti yang diungkapkan oleh seorang Kepala Puskesmas bahwa kendala untuk
memberantas DHF yaitu salah satunya karena keterbatasan tenaga kesehatan
sehingga bila terjadi peningkatan kasus dalam waktu yang bersamaan
mengakibatkan petugas yang ada kesulitan untuk menanganinya karena tidak semua
wilayah dapat terjangkau. Dengan
adanya perangkapan tugas mengakibatkan seorang petugas kesehatan mempunyai
beban kerja yang lebih banyak sehingga menurut Tarwaka,dkk (2004) petugas akan
mengalami tingkat kelelahan yang tinggi dan pada akhirnya menyebabkan stres
kerja.
c. Sumber Dana
Sumber dana terbesar pembiayaan program DHF di Kota Kupang
tahun 2006 berasal dari hutang DHS-2 (45,25%). Dimana dana ini digunakan untuk pengadaan
abate sedangkan sumber dana terkecil berasal dari DAU (4,08%). Padahal dalam UU
No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah disebutkan bahwa penggunaan DAU diutamakan untuk pembiayaan pelayanan
dasar kepada masyarakat daerah. Namun hal tersebut tidak dapat dilaksanakan
dengan baik oleh pemerintah mengingat sebagian besar DAU dipergunakan untuk
membiayai gaji pegawai. ABT memberikan bantuan dalam bentuk barang yakni abate
sebanyak 130 dos atau jika dikonversi dalam bentuk uang adalah sebesar Rp.243.750.000,- Sedangkan Dinkes Prov.
NTT juga memberikan bantuan pinjaman abate sebanyak 20 dos atau setara dengan
Rp.37.500.000,- . Dari total dana untuk program
pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun 2006, sebanyak 99,35% digunakan untuk
biaya operasional dan 0,65% dipakai untuk biaya pemeliharaan sedangkan untuk
biaya modal pada waktu itu tidak ada. Dari 99,35% biaya operasional, sebanyak
90,65% digunakan untuk membeli bahan medis sedangkan 6,96% digunakan untuk
membayar upah. Sisanya dipakai untuk penyuluhan, bahan non medis, dan
perjalanan dinas.
2. Unit Cost Program Pemberantasan DHF
Dalam menganalisis biaya DHF tahun 2006, unit cost yang
dipakai adalah instrument dari Bhisma Murti. Dimana ia telah melakukan
penelitian sebelumnya di Kota Kupang tahun 2005 sehingga unit cost tahun
2006 tidak jauh berbeda dengan unit cost tahun 2005. Salah satu contoh yang dapat
kita lihat bahwa unit cost obat DHF
tidak jauh berbeda dengan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI No.302/Menkes/SK/III/2008 tentang Harga Obat Generik. Sedangkan
untuk unit cost bahan-bahan DHF dan
unit cost peserta pelatihan kegiatan
pemberantasan DHF juga sama dengan yang
ada pada Dinkes Kota Kupang. Untuk itulah penelitian ini menggunakan unit cost tahun 2005 yang diasumsikan sama
dengan unit cost tahun 2006.
3. Analisis Biaya Program
Pemberantasan DHF dengan Metode Ingredient Approach
Ada tiga jenis biaya yang dianalisis
yaitu biaya operasional, biaya pemeliharaan dan biaya modal/investasi.
Yang termaksud dalam biaya operasional
Program Pemberantasan DHF yaitu biaya obat seperti Ringer Lactate sol dan Plasma Expander, biaya bahan-bahan
seperti Dengue diagnostic, insektisida untuk fogging, abate, biaya kegiatan serta biaya tenaga kesehatan. Dalam menganalisis
biaya-biaya ini selain mengalikan unit cost
masing-masing input dengan kuantitas juga dikalikan dengan cakupannya
(Murti, 2005).
Untuk biaya pemeliharaan terdiri atas biaya pelatihan, biaya pemeliharaan
gedung dan pemeliharaan kendaraan, biaya utilities ( listrik, air, telepon)
serta gaji tenaga administrasi. Dalam menghitung gaji tenaga pendukung dilihat
juga FTE dan persentase pelayanan DHF. FTE adalah persentase tenaga pendukung yang bekerja untuk tugas pekerjaan mendukung program DHF di fasilitas kesehatan
ini. Misalnya 100% berarti ia bekerja penuh. Jika 50% berarti ia bekerja paruh
waktu. Sedangkan yang dimaksud dengan persen pelayanan DHF adalah persen penggunaan pendukung oleh pelayanan
DHF
dibandingkan keseluruhan pelayanan kesehatan.
Biaya modal/investasi terdiri atas
biaya gedung, furnitur dan tempat tidur, peralatan komunikasi, kendaraan serta
peralatan fogging. Sebagian besar aset, misalnya peralatan dan gedung menjadi
aus (secara fisik) atau usang (secara teknologis) sehingga mengalami depresiasi
dengan berjalannya waktu. Dalam perhitungan biaya modal ini dikenal beberapa
istilah yang dipakai antara lain waktu amortisasi, persentase pemakaian
pelayanan DHF dan depresiasi tahunan.
Analisis biaya DHF yang dilakukan oleh Dinkes Kota
Kupang, pada hakikatnya juga menggunakan metode Ingredient Approach. Dimana analisis biaya yang dilakukan juga
menggunakan unsur-unsur seperti kuantitas barang yang diperlukan, unit costnya serta dilihat juga seberapa
banyak wilayah yang ingin diintervensi dan jumlah orang yang turut berpartisipasi
4. Penganggaran Biaya Program Pemberantasan DHF
Pada hasil penelitian terlihat bahwa kebijakan
pemerintah Kota Kupang pada tahun 2006 dalam pembiayaan kesehatan lebih besar
digunakan untuk peningkatan sarana kesehatan dan pemeliharaan gedung. Sedangkan
untuk program perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat mendapat porsi
terkecil. Padahal sejak era reformasi, Paradigma Sehat digunakan sebagai
Paradigma pembangunan kesehatan yang berarti pembangunan kesehatan harus
mengutamakan upaya-upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif
dan rehabilitatif.
Pada hasil penelitian juga terlihat bahwa sumber dana
terbesar berasal dari DAU. Padahal PAD Kota Kupang harus diupayakan menjadi
sumber pembiayaan utama bagi belanja daerah Kota Kupang. Berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ade dkk
(2007) pada Kota Pariaman menunjukkan bahwa selama tahun 2004-2006 terjadi
peningkatan kecenderungan pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah
kota di Kota Pariaman. Sedangkan pembiayaan yang bersumber dari Pemerintah
Pusat cenderung semakin kecil. Kondisi ini menunjukan bahwa Pemerintah Kota
Pariaman khususnya untuk bidang kesehatan telah memiliki komitmen untuk
pembangunan kesehatan di Kota Pariaman.
Kebijakan anggaran didalam mendorong kinerja
perekonomian daerah dapat ditopang melalui mobilisasi PAD secara memadai.
Disamping itu, jika sebagian besar belanja daerah mampu dibiayai dengan PAD,
maka kemandirian fiskal Kota Kupang akan semakin besar sehingga mengikis
ketergantungan terhadap pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat maupun
pihak asing. Pada akhirnya, struktur PAD yang kokoh diharapkan mampu memelihara
kesinambungan anggaran daerah Kota Kupang.
Dari hasil analisis
yang dilakukan diketahui bahwa anggaran kesehatan untuk program pemberantasan
DHF di Kota Kupang pada Tahun 2006 adalah sebesar Rp.350.844.869,- Dimana rincian ini terdiri atas biaya
operasional sebesar 76,72% biaya pemeliharaan sebesar 6,78% dan biaya modal/biaya investasi adalah sebesar 16,49%.
Biaya yang dialokasikan untuk program
pemberantasan DHF di Kota Kupang Tahun 2006 yang
berasal dari DAU hanya sebesar Rp.25.600.000 ,-. Jika dibandingkan dengan biaya standar program
pemberantasan DHF yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sangat kecil yakni hanya sebesar 1,39% dari standar pembiayaan minimal bidang kesehatan
untuk program pemberantasan DHF yaitu sebesar Rp.1.837.349.130,-.
Analisis biaya DHF yang dibuat
merupakan hasil analisis yang dilakukan dari kegiatan-kegiatan prioritas dari
intervensi kesehatan tersebut, mengingat sumber daya dan kapasitas pemerintah
sangat terbatas. Dengan sumber daya pemerintah yang terbatas,
alokasi dana bidang kesehatan yang diberikan pun banyak yang disalahgunakan.
Belum lagi, masalah ketidakcukupan anggaran operasional. Tidak hanya itu,
realisasi anggaran yang diberikan juga terlambat sehingga untuk kegiatan yang
membutuhkan dana dalam waktu cepat juga menjadi terhambat.
Jika masalah-masalah pembiayaan ini terus terjadi dan
tidak segera diatasi maka program-program kesehatan yang sudah direncanakan
tidak dapat berjalan dengan baik.
Akibatnya dapat menurunkan kinerja program kesehatan. Untuk itu disarankan agar dana pusat,
proyek/provinsi yang diberikan kepada daerah dengan syarat yaitu keharusan
untuk mencukupi kebutuhan biaya operasional dari APBD untuk setiap anggaran
pusat/provinsi. Mekanisme ini perlu agar Pemerintah daerah yang cenderung
menghabiskan anggaran untuk fisik dan belanja tidak langsung, bisa merubah
kebiasaanya (Gani, 2006).
Dengan demikian analisis biaya, penganggaran serta
pembiayaan kesehatan merupakan ketiga tahap saling terkait yang menggambarkan
proses akuntabilitas keuangan dan pengalokasian anggaran kesehatan secara
tepat. Ketiga tahap ini merupakan alat advokasi yang tepat bagi aparatur
kesehatan daerah untuk memperoleh pembiayaan kesehatan yang dibutuhkan.
5. Kesenjangan antara biaya yang dibutuhkan
dengan yang dialokasikan
Dana yang dialokasikan untuk program pemberantasan DHF
di Kota Kupang tahun 2006 masih lebih besar (178,94%) daripada biaya yang
dibutuhkan. Walaupun dana yang dialokasikan pada tahun 2006 ini masih jauh
lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan biaya yang dianalisis, namun ternyata
tetap tidak mempengaruhi jumlah kasus DHF. Disamping itu, walaupun dana yang
dialokasikan pada waktu itu cukup besar namun besarnya alokasi tersebut bukan
berasal dari pendapatan daerah tetapi berasal dari pinjaman dana DHS-2 dan
Dinkes Prov.NTT. Dengan demikian, Struktur anggaran di daerah harus secara
eksplisit memisahkan pendapatan dan pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari
utang misalnya, tidak bisa diklaim sebagai pendapatan karena suatu saat nanti
dana tersebut harus dikembalikan. Demikian pula penerimaan yang berasal dari
kinerja anggaran tahun-tahun sebelumnya (Bappeda,2002). Karena dana ini berupa
pinjaman maka dana yang dialokasikan untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang belum tentu jumlahnya sama untuk tahun
berikut. Belum lagi, apabila terjadi peningkatan kasus maka pastinya lebih
membutuhkan dana yang lebih besar. Untuk itu, Pemkot Kupang harus menyediakan
sejumlah dana yang sesuai dengan kebutuhan dana untuk program pemberantasan DHF
sehingga nantinya dana dari pemerintah pusat maupun bantuan luar negeri tidak
dijadikan sebagai sumber utama pembiayaan kesehatan.
Dengan demikian dibutuhkan keseriusan kebijakan dari
Pemerintah Kota Kupang dalam hal pembiayaan kesehatan. Tidak hanya membiayai
untuk kegiatan fisik tetapi lebih memfokuskan untuk membiayai belanja
operasional. Yang secara tidak langsung dapat membiayai program-program
kesehatan termasuk DHF. Karena jika PAD Kota Kupang dapat menjadi sumber pembiayaan utama bagi
belanja daerah Kota Kupang, maka Pemerintah Kota Kupang khususnya untuk bidang
kesehatan telah memiliki komitmen untuk memajukan pembangunan kesehatan di Kota
Kupang. Disamping itu juga, dibutuhkan
suatu strategi dalam upaya peningkatan efektivitas pembiayaan kesehatan di NTT.
Strategi yang dimaksud berupa peningkatan upaya advokasi kepada Pemerintah
Daerah yang memang menaruh minat yang besar terhadap kesehatan (Depkes RI,
2002).
Advokasi merupakan hal penting dalam proses penyusunan
anggaran, ternyata advokasi anggaran yang sudah dilaksanakan belum maksimal
karena kemampuan argumentasi dan negosiasi yang tidak kuat dari SDM perencana
anggaran. Rendahnya kemampuan SDM dalam memperjuangkan dan mempertahankan
programnya pada pihak eksekutif
mempengaruhi kebijakan dalam mengalokasikan anggaran kesehatan sesuai
dengan kebutuhan anggaran. Hal ini sesuai teori yang disampaikan oleh Ascobat
Gani (2006) tentang permasalahan pembiayaan kesehatan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan perencana kesehatan dalam menyusun advokasi terhadap pengambil
kebijakan.
PENUTUP
Simpulan
a.
Total keseluruhan unit cost
untuk biaya operasional, biaya pemeliharaan dan biaya modal/investasi
adalah Rp.12.278.427,-, Rp.456.000,- dan Rp.4.290.000,-
b.
Biaya normative program pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun
2006 dengan menggunakan metode Ingredient Approach adalah
sebesar 1,83% dari total
sumber dana Dinkes Kota Kupang yang meliputi biaya operasional sebesar 76,72%, biaya pemeliharaan sebesar 6,78% dan biaya modal/investasi sebesar 16,49%.
c.
Alokasi
dana untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun 2006 adalah sebesar
3,28% dari total sumber dana Dinkes Kota Kupang yang meliputi biaya operasional
sebesar 99,35%, biaya pemeliharaan sebesar 0,65%.
d.
Terjadi inefisiensi alokasi
dana program pemberantasan
DHF di Kota Kupang tahun 2006 dimana alokasi dana pada saat itu lebih besar dibandingkan dengan biaya normative program
pemberantasan DHF karena setiap tahun angka IR dan CFR kasus DHF masih tetap
tinggi dibandingkan dengan standar IR dan CFR nasional.
Saran
Bagi peneliti yang lain dapat
melanjutkan penelitian sejenis, tidak hanya terbatas pada
analisis biaya DHF tetapi dapat menganalisis biaya program kesehatan yang lain agar dapat melihat berapa besar anggaran
kesehatan yang seharusnya diberikan sehingga dapat meminimalisir masalah
kesehatan yang ada. Selain itu juga dapat melakukan
penelitian lanjutan mengenai pengalokasian dana yang besar namun tetap tidak
mempengaruhi peningkatan kasus DHF di Kota
Kupang.
DAFTAR PUSTAKA
Daud, Prisilia. 2006. Ketenagaan, Sarana dan Pembiayaan dalam
Perencanaan Pemberantasan DBD di Kota Kupang. Kupang: FKM-UNDANA
Dinas Kesehatan Kota Kupang. 2002. Rencana Strategis. Dinas Kesehatan Kota Kupang
Dinas Kesehatan Provinsi NTT. 2006.
Profil Dinas Kesehatan Provinsi NTT.
Dinas Kesehatan Provinsi NTT
Gani,
Ascobat. 2006. Reformasi
Pembiayaan Kesehatan Kabupaten/Kota Dalam System Desentralisasi. Pertemuan Nasional
Desentralisasi Kesehatan. Bandung. http:///www.makalahascobatgani.html(Sitasi:
Sabtu, 9 Mei 2009 pukul 20.05 WITA)
Mukti, Ali Gufron. 2007. Sistem Pembiayaan Kesehatan Di Indonesia Urgensi
Reformasi Dan Prospek Ke Depan.Yogyakarta:
Gadjah Mada University
Murti. 2005. Costing Instrument For Scaling Up Essential Health Care At
Distict/Municipality Level. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Murti, dkk. 2006. Perencanaan dan Penganggaran Untuk Investasi
Kesehatan di Tingkat Kabupaten dan Kota. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press