Senin, 17 September 2012

Vol.1, No. 1, April 2009, hlm. 28-36

KEBIJAKAN PEMBIAYAAN PROGRAM PEMBERANTASAN DENGUE
HAEMORRAGIC FEVER  DI KOTA KUPANG TAHUN 2006


Nurpaidah, Serlie Littik, Hyron A. Fernandez
Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat


A
BSTRACT, Up to the present time, the disease of Dengue Haemmoragic Fever (DHF), henceforth, DHF has become a public health problem for Kupang people. Fairly-high degree of DHF case found every year. Limited fund from Kupang City government for DHF program has become an obstacle in decreasing and combating the DHF in Kupang City. It is worth remembering that the DHF program is one of the Kupang City City government’s essential programs. This research aimed at knowing the finance policy program on combating DHF in Kupang City Year 2006. The research is a policy research in nature. The result of the research shows that the number of equipment and that of health perssonel at the health office and the advisory service for the combating of DHF were inadequate. Most fund resource for the combating of the disease in Kupang city year 2006 was from the debt of DHS-2 as much as 45,25%. The fund allocation for such a program in Kupang City year 2006 was as much as 3,28% from the total fund source of Kupang City Health Office and Advisory Service. The total fund covered operational budget (99,35%) and maintenance budget (0,65%). The budget for the normative program for combating DHF in Kupang city year 2006 was calculated by the use of the so-called Method of Ingredient Approach; and it was 1,83% of the total fund resource. The total fund covered operational budget of 76,72%, maintenance budget of 6,78%band investment or capital budget of 16,49%. It can be concluded that although the amount of fund allocation at that time was more than the normative budget for the combating of DHF, the number of IR case and the one of CFR remain high comparing with the national standard of IR and CFR. Further or follow-up researches on such cases, accordingly, need to be done in order that any improving attempt can be done to avoid inefficiency of fund allocation.

Keywords                   : Resources, Cost Analysis and Budgeting


PENDAHULUAN
Sistem Kesehatan dibedakan menjadi sub-sistem pembiayaan (health care financing system)  dan sub-sistem pemberian pelayanan kesehatan (health care delivery system). Sub-sistem pemberian pelayanan kesehatan sangat sentral perannya, akan tetapi keberhasilan sub-sistem ini sangat tergantung pada sub-sistem pembiayaan (Mukti, 2007). 
Biaya pelayanan kesehatan di Indonesia sebelum 2,5% dan sesudah krisis 1,7% masih jauh dari anjuran Organisasi Kesehatan Sedunia yakni paling sedikit 5% dari GDP per tahun. Di Provinsi NTT, anggaran Pemda untuk alokasi pembiayaan kesehatan pada tahun 2007 hanya 10,36% dari APBD, persentase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan alokasi pembiayaan kesehatan pada tahun 2006 sebesar 12,04%. Dari anggaran ini porsi terbesar diberikan kepada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof.DR.W.Z Johannes Kupang sebesar 76.61%, Dinas Kesehatan Provinsi sebesar 20,51%, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pelatihan Tenaga Kesehatan sebesar 1,52%, UPTD Laboratorium Kesehatan sebesar 1,32% serta untuk Bantuan Langsung sebesar 0,65%. Padahal dengan persentase yang kecil ini harus dapat menangani permasalahan kesehatan yang ada dengan jumlah penduduk sebesar 4.355.121 jiwa. Selain itu juga, rendahnya alokasi biaya kesehatan merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu pelayanan kesehatan.
Sumber pembiayaan kesehatan Kota Kupang pada tahun 2006 berasal dari Bantuan Luar Negeri dan Anggaran Pemerintah Pusat. Untuk bantuan Luar Negeri berjumlah lebih banyak digunakan untuk biaya intervensi dan biaya pemeliharaan Sedangkan sumber pembiayaan dari Pemerintah Pusat lebih banyak digunakan untuk biaya modal/investasi. Padahal di era desentralisasi ini, diharapkan peranan APBD terhadap pembiayaan kesehatan harus lebih besar dibandingkan APBN. Masalah lainnya yakni terbatasnya biaya untuk program Dengue Haemorragic Fever (DHF). Biaya standar untuk pemberantasan DHF adalah Rp1.837.349.130, tetapi tidak direalisasikan sesuai dengan standar yang ada, pada hal DHF merupakan salah satu program pelayanan kesehatan esensial dari pemerintah Kota Kupang (Dinkes Kota Kupang, 2005).
Daud (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa keterbatasan dana  untuk program DHF menjadi satu kendala untuk menurunkan dan memberantas kasus DHF di Kota Kupang. Sampai sekarang  penyakit DHF masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Kota Kupang, dimana setiap tahunnya ditemukan kasus DHF dengan jumlah kasus yang cukup tinggi. Angka Insiden Rate (IR) dan Case Fatality Rate(CFR) lebih besar dari Standar Nasional  yaitu IR sebesar 1 per 100.000 dan CFR sebesar < 1%. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel I.1 Jumlah kasus DHF beserta IR dan CFR di Kota Kupang Tahun 2003-2007
Tahun
Jumlah kasus
IR
CFR
2003
643
256
1,71%
2004
681
264,3
1,76%
2005
646
243,7
1,70%
2006
260
94,5
1,54%
2007
511
180
1,57%
Sumber : Dinkes Kota Kupang



METODE  PENELITIAN
Jenis atau rancang bangun penelitian ini adalah Policy Research (Metode penelitian kebijakan). Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Kupang Provinsi NTT pada Bulan Desember 2008 sampai Bulan Juni 2009. Data sekunder diambil dari dokumen-dokumen yang ada pada Dinas Kesehatan Kota Kupang maupun dari instansi lain dan telaah literatur kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini yakni Form analisis pembiayaan program DHF oleh Bhisma Murti.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sumber Daya Program Pemberantasan DHF
a. Sarana Kesehatan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa jumlah sarana diperlukan dalam program pemberantasan DHF sangat terbatas. Padahal dalam perencanaan pemberantasan DHF diperlukan sarana dalam menunjang upaya kesehatan yang dilaksanakan. Seperti hasil penelitian Daud (2006), salah satu petugas kesehatan di Dinkes Kota Kupang mengatakan bahwa logistik yang ada di Dinkes Kota Kupang terbatas sehingga hal ini menjadi kendala untuk memberantas DHF di Kota Kupang. Kurangnya sarana disebabkan oleh karena biaya yang ada sangat terbatas sehingga alokasi biaya untuk tiga tahun terakhir ini lebih diprioritaskan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang langsung mengenai sasaran, seperti penyuluhan dan PE. Kurangnya sarana mengakibatkan terhambatnya kegiatan yang dilakukan petugas, misalnya ketika melakukan kegiatan PE ditemukan jentik sehingga harus ditaburkan abate, tetapi abatenya tidak ada. Keadaan seperti ini menjadi suatu hambatan untuk memberantas DHF di Kota Kupang.

b. Tenaga kesehatan 
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa jumlah tenaga kesehatan yang ada di Dinas Kesehatan Kota Kupang masih kurang. Karena jumlah tenaga yang tersedia masih kurang maka tenaga pengelola program DHF di Kota Kupang hanya ada satu orang yang sekaligus merangkap sebagai pengelola program TB.  Kurangnya tenaga di Dinkes Kota Kupang menyebabkan seorang petugas harus diberikan tanggung jawab untuk memegang lebih dari satu program. Keterbatasan jumlah tenaga kesehatan di Kota Kupang menjadi salah satu kendala untuk memberantas DHF, seperti yang diungkapkan oleh seorang Kepala Puskesmas bahwa kendala untuk memberantas DHF yaitu salah satunya karena keterbatasan tenaga kesehatan sehingga bila terjadi peningkatan kasus dalam waktu yang bersamaan mengakibatkan petugas yang ada kesulitan untuk menanganinya karena tidak semua wilayah dapat terjangkau. Dengan adanya perangkapan tugas mengakibatkan seorang petugas kesehatan mempunyai beban kerja yang lebih banyak sehingga menurut Tarwaka,dkk (2004) petugas akan mengalami tingkat kelelahan yang tinggi dan pada akhirnya menyebabkan stres kerja.

c. Sumber Dana
Sumber dana terbesar pembiayaan program DHF di Kota Kupang tahun 2006 berasal dari hutang DHS-2 (45,25%). Dimana dana ini digunakan untuk pengadaan abate sedangkan sumber dana terkecil berasal dari DAU (4,08%). Padahal dalam UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah disebutkan bahwa penggunaan DAU diutamakan untuk pembiayaan pelayanan dasar kepada masyarakat daerah. Namun hal tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah mengingat sebagian besar DAU dipergunakan untuk membiayai gaji pegawai. ABT memberikan bantuan dalam bentuk barang yakni abate sebanyak 130 dos atau jika dikonversi dalam bentuk uang adalah sebesar Rp.243.750.000,- Sedangkan Dinkes Prov. NTT juga memberikan bantuan pinjaman abate sebanyak 20 dos atau setara dengan Rp.37.500.000,- . Dari total dana untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun 2006, sebanyak 99,35% digunakan untuk biaya operasional dan 0,65% dipakai untuk biaya pemeliharaan sedangkan untuk biaya modal pada waktu itu tidak ada. Dari 99,35% biaya operasional, sebanyak 90,65% digunakan untuk membeli bahan medis sedangkan 6,96% digunakan untuk membayar upah. Sisanya dipakai untuk penyuluhan, bahan non medis, dan perjalanan dinas.

2. Unit Cost  Program Pemberantasan DHF

Dalam menganalisis biaya DHF tahun 2006, unit cost  yang dipakai adalah instrument dari Bhisma Murti. Dimana ia telah melakukan penelitian sebelumnya di Kota Kupang tahun 2005 sehingga unit cost  tahun 2006 tidak jauh berbeda dengan unit cost  tahun 2005. Salah satu contoh yang dapat kita lihat bahwa unit cost obat DHF tidak jauh berbeda dengan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.302/Menkes/SK/III/2008 tentang Harga Obat Generik. Sedangkan untuk unit cost bahan-bahan DHF dan unit cost peserta pelatihan kegiatan pemberantasan DHF  juga sama dengan yang ada pada Dinkes Kota Kupang. Untuk itulah penelitian ini menggunakan unit cost tahun 2005 yang diasumsikan sama dengan unit cost tahun 2006.

3. Analisis Biaya Program Pemberantasan DHF dengan Metode Ingredient  Approach

Ada tiga jenis biaya yang dianalisis yaitu biaya operasional, biaya pemeliharaan dan biaya modal/investasi. Yang termaksud dalam biaya operasional  Program Pemberantasan DHF yaitu biaya obat seperti Ringer Lactate sol dan  Plasma Expander, biaya bahan-bahan seperti Dengue diagnostic, insektisida untuk fogging, abate, biaya kegiatan serta biaya tenaga kesehatan. Dalam menganalisis biaya-biaya ini selain mengalikan unit cost masing-masing input dengan kuantitas juga dikalikan dengan cakupannya (Murti, 2005).
Untuk biaya pemeliharaan terdiri atas biaya pelatihan, biaya pemeliharaan gedung dan pemeliharaan kendaraan, biaya utilities ( listrik, air, telepon) serta gaji tenaga administrasi. Dalam menghitung gaji tenaga pendukung dilihat juga FTE dan persentase pelayanan DHF. FTE adalah persentase tenaga pendukung yang bekerja untuk tugas pekerjaan mendukung program DHF di fasilitas kesehatan ini. Misalnya 100% berarti ia bekerja penuh. Jika 50% berarti ia bekerja paruh waktu. Sedangkan yang dimaksud dengan persen pelayanan DHF adalah persen penggunaan pendukung oleh pelayanan DHF dibandingkan keseluruhan pelayanan kesehatan.
Biaya modal/investasi terdiri atas biaya gedung, furnitur dan tempat tidur, peralatan komunikasi, kendaraan serta peralatan  fogging. Sebagian besar aset, misalnya peralatan dan gedung menjadi aus (secara fisik) atau usang (secara teknologis) sehingga mengalami depresiasi dengan berjalannya waktu. Dalam perhitungan biaya modal ini dikenal beberapa istilah yang dipakai antara lain waktu amortisasi, persentase pemakaian pelayanan DHF dan depresiasi tahunan.
Analisis biaya DHF yang dilakukan oleh Dinkes Kota Kupang, pada hakikatnya juga menggunakan metode Ingredient Approach. Dimana analisis biaya yang dilakukan juga menggunakan unsur-unsur seperti kuantitas barang yang diperlukan, unit costnya serta dilihat juga seberapa banyak wilayah yang ingin diintervensi dan jumlah orang yang turut  berpartisipasi
 4.  Penganggaran Biaya Program Pemberantasan DHF

Pada hasil penelitian terlihat bahwa kebijakan pemerintah Kota Kupang pada tahun 2006 dalam pembiayaan kesehatan lebih besar digunakan untuk peningkatan sarana kesehatan dan pemeliharaan gedung. Sedangkan untuk program perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat mendapat porsi terkecil. Padahal sejak era reformasi, Paradigma Sehat digunakan sebagai Paradigma pembangunan kesehatan yang berarti pembangunan kesehatan harus mengutamakan upaya-upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.
Pada hasil penelitian juga terlihat bahwa sumber dana terbesar berasal dari DAU. Padahal PAD Kota Kupang harus diupayakan menjadi sumber pembiayaan utama bagi belanja daerah Kota Kupang. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ade dkk (2007) pada Kota Pariaman menunjukkan bahwa selama tahun 2004-2006 terjadi peningkatan kecenderungan pembiayaan kesehatan yang bersumber dari pemerintah kota di Kota Pariaman. Sedangkan pembiayaan yang bersumber dari Pemerintah Pusat cenderung semakin kecil. Kondisi ini menunjukan bahwa Pemerintah Kota Pariaman khususnya untuk bidang kesehatan telah memiliki komitmen untuk pembangunan kesehatan di Kota Pariaman. 
Kebijakan anggaran didalam mendorong kinerja perekonomian daerah dapat ditopang melalui mobilisasi PAD secara memadai. Disamping itu, jika sebagian besar belanja daerah mampu dibiayai dengan PAD, maka kemandirian fiskal Kota Kupang akan semakin besar sehingga mengikis ketergantungan terhadap pembiayaan yang berasal dari pemerintah pusat maupun pihak asing. Pada akhirnya, struktur PAD yang kokoh diharapkan mampu memelihara kesinambungan anggaran daerah Kota Kupang.
Dari hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa anggaran kesehatan untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang pada Tahun 2006 adalah sebesar Rp.350.844.869,- Dimana rincian ini terdiri atas biaya operasional sebesar 76,72% biaya pemeliharaan sebesar 6,78% dan biaya modal/biaya investasi adalah sebesar 16,49%.
Biaya yang dialokasikan untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang Tahun 2006 yang berasal dari DAU hanya sebesar   Rp.25.600.000 ,-. Jika dibandingkan dengan biaya standar program pemberantasan DHF yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sangat kecil  yakni hanya sebesar 1,39% dari standar pembiayaan minimal bidang kesehatan untuk program pemberantasan DHF yaitu sebesar Rp.1.837.349.130,-.
Analisis biaya DHF yang dibuat merupakan hasil analisis yang dilakukan dari kegiatan-kegiatan prioritas dari intervensi kesehatan tersebut, mengingat sumber daya dan kapasitas pemerintah sangat terbatas.  Dengan sumber daya pemerintah yang terbatas, alokasi dana bidang kesehatan yang diberikan pun banyak yang disalahgunakan. Belum lagi, masalah ketidakcukupan anggaran operasional. Tidak hanya itu, realisasi anggaran yang diberikan juga terlambat sehingga untuk kegiatan yang membutuhkan dana dalam waktu cepat juga menjadi terhambat.
Jika masalah-masalah pembiayaan ini terus terjadi dan tidak segera diatasi maka program-program kesehatan yang sudah direncanakan tidak dapat berjalan  dengan baik. Akibatnya dapat menurunkan kinerja program kesehatan.  Untuk itu disarankan agar dana pusat, proyek/provinsi yang diberikan kepada daerah dengan syarat yaitu keharusan untuk mencukupi kebutuhan biaya operasional dari APBD untuk setiap anggaran pusat/provinsi. Mekanisme ini perlu agar Pemerintah daerah yang cenderung menghabiskan anggaran untuk fisik dan belanja tidak langsung, bisa merubah kebiasaanya (Gani, 2006).
Dengan demikian analisis biaya, penganggaran serta pembiayaan kesehatan merupakan ketiga tahap saling terkait yang menggambarkan proses akuntabilitas keuangan dan pengalokasian anggaran kesehatan secara tepat. Ketiga tahap ini merupakan alat advokasi yang tepat bagi aparatur kesehatan daerah untuk memperoleh pembiayaan kesehatan yang dibutuhkan.

5.  Kesenjangan antara biaya yang dibutuhkan dengan yang dialokasikan

Dana yang dialokasikan untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun 2006 masih lebih besar (178,94%) daripada biaya yang dibutuhkan. Walaupun dana yang dialokasikan pada tahun 2006 ini masih jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan biaya yang dianalisis, namun ternyata tetap tidak mempengaruhi jumlah kasus DHF. Disamping itu, walaupun dana yang dialokasikan pada waktu itu cukup besar namun besarnya alokasi tersebut bukan berasal dari pendapatan daerah tetapi berasal dari pinjaman dana DHS-2 dan Dinkes Prov.NTT. Dengan demikian, Struktur anggaran di daerah harus secara eksplisit memisahkan pendapatan dan pembiayaan. Pembiayaan yang berasal dari utang misalnya, tidak bisa diklaim sebagai pendapatan karena suatu saat nanti dana tersebut harus dikembalikan. Demikian pula penerimaan yang berasal dari kinerja anggaran tahun-tahun sebelumnya (Bappeda,2002). Karena dana ini berupa pinjaman maka dana yang dialokasikan untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang  belum tentu jumlahnya sama untuk tahun berikut. Belum lagi, apabila terjadi peningkatan kasus maka pastinya lebih membutuhkan dana yang lebih besar. Untuk itu, Pemkot Kupang harus menyediakan sejumlah dana yang sesuai dengan kebutuhan dana untuk program pemberantasan DHF sehingga nantinya dana dari pemerintah pusat maupun bantuan luar negeri tidak dijadikan sebagai sumber utama pembiayaan kesehatan.
Dengan demikian dibutuhkan keseriusan kebijakan dari Pemerintah Kota Kupang dalam hal pembiayaan kesehatan. Tidak hanya membiayai untuk kegiatan fisik tetapi lebih memfokuskan untuk membiayai belanja operasional. Yang secara tidak langsung dapat membiayai program-program kesehatan termasuk DHF. Karena jika PAD Kota Kupang  dapat menjadi sumber pembiayaan utama bagi belanja daerah Kota Kupang, maka Pemerintah Kota Kupang khususnya untuk bidang kesehatan telah memiliki komitmen untuk memajukan pembangunan kesehatan di Kota Kupang.  Disamping itu juga, dibutuhkan suatu strategi dalam upaya peningkatan efektivitas pembiayaan kesehatan di NTT. Strategi yang dimaksud berupa peningkatan upaya advokasi kepada Pemerintah Daerah yang memang menaruh minat yang besar terhadap kesehatan (Depkes RI, 2002).
Advokasi merupakan hal penting dalam proses penyusunan anggaran, ternyata advokasi anggaran yang sudah dilaksanakan belum maksimal karena kemampuan argumentasi dan negosiasi yang tidak kuat dari SDM perencana anggaran. Rendahnya kemampuan SDM dalam memperjuangkan dan mempertahankan programnya pada pihak eksekutif  mempengaruhi kebijakan dalam mengalokasikan anggaran kesehatan sesuai dengan kebutuhan anggaran. Hal ini sesuai teori yang disampaikan oleh Ascobat Gani (2006) tentang permasalahan pembiayaan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kemampuan perencana kesehatan dalam menyusun advokasi terhadap pengambil kebijakan.

PENUTUP
Simpulan
a.       Total keseluruhan unit cost untuk biaya operasional, biaya pemeliharaan dan biaya modal/investasi adalah Rp.12.278.427,-, Rp.456.000,- dan Rp.4.290.000,-
b.      Biaya normative program pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun 2006 dengan menggunakan metode Ingredient Approach  adalah sebesar 1,83% dari total sumber dana Dinkes Kota Kupang yang meliputi biaya operasional sebesar 76,72%, biaya pemeliharaan sebesar 6,78% dan biaya modal/investasi sebesar 16,49%.
c.       Alokasi dana untuk program pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun 2006 adalah sebesar 3,28% dari total sumber dana Dinkes Kota Kupang yang meliputi biaya operasional sebesar 99,35%, biaya pemeliharaan sebesar 0,65%.
d.      Terjadi inefisiensi alokasi dana program pemberantasan DHF di Kota Kupang tahun 2006 dimana alokasi dana pada saat itu lebih besar dibandingkan dengan biaya normative program pemberantasan DHF karena setiap tahun angka IR dan CFR kasus DHF masih tetap tinggi dibandingkan dengan standar IR dan CFR nasional.   

Saran
Bagi peneliti yang lain dapat melanjutkan penelitian sejenis, tidak hanya terbatas pada analisis biaya DHF tetapi dapat menganalisis biaya program kesehatan yang lain agar dapat melihat berapa besar anggaran kesehatan yang seharusnya diberikan sehingga dapat meminimalisir masalah kesehatan yang ada. Selain itu juga dapat melakukan penelitian lanjutan mengenai pengalokasian dana yang besar namun tetap tidak mempengaruhi  peningkatan kasus DHF di Kota Kupang.

DAFTAR PUSTAKA
Daud, Prisilia. 2006. Ketenagaan, Sarana dan Pembiayaan dalam Perencanaan Pemberantasan DBD di Kota Kupang. Kupang: FKM-UNDANA
Dinas Kesehatan Kota Kupang. 2002. Rencana Strategis. Dinas Kesehatan Kota Kupang
Dinas Kesehatan Provinsi NTT. 2006. Profil Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Dinas Kesehatan Provinsi NTT
Gani, Ascobat. 2006. Reformasi Pembiayaan Kesehatan Kabupaten/Kota Dalam System Desentralisasi. Pertemuan Nasional Desentralisasi Kesehatan. Bandung. http:///www.makalahascobatgani.html(Sitasi: Sabtu, 9 Mei 2009 pukul 20.05 WITA)          
Mukti, Ali Gufron. 2007.  Sistem Pembiayaan Kesehatan Di Indonesia Urgensi Reformasi Dan Prospek Ke Depan.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Murti. 2005. Costing Instrument For Scaling Up Essential Health Care At Distict/Municipality Level. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Murti, dkk. 2006. Perencanaan dan Penganggaran Untuk Investasi Kesehatan di Tingkat Kabupaten dan Kota. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Minggu, 16 September 2012

Vol.1,No.1, April 2009, hlm. 1-7


HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI IBU, GEJALA PENYAKIT INFEKSI dan TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI terhadap PERTUMBUHAN  ANAK  BADUTA   DI WILAYAH KERJA  PUSKESMAS NOEMUTI


Landalinus Nahak, Lewi Jutomo and Erlina Rosita  Salmun
Jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Undana


A
BSTRAK, Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan gizi ibu, tingkat kecukupan zat gizi dan gejala penyakit infeksi dengan pertumbuhan anak baduta. Desain penelitian adalah cross-sectional dengan jumlah sampel 68 anak baduta yang dipilih secara acak. Analisis data secara statistik dengan menggunakan uji Koefisien Korelasi Rangking Spearman dan Koefisien Contingensi. Hasil penelitian menunjukkan persentase anak baduta yang pertumbuhan naik 48,5 % dan tidak naik pertumbuhan 51,5 %. Anak baduta yang memiliki  gejala penyakit infeski 51,5 % dan tidak ada gejala penyakit infeksi 48,5 % dan anak baduta dengan  tingkat kecukupan kalori cukup 22,1 % dan kurang 77,9 %. Tingkat kecukupan protein 25 % dan kurang 75 %. Tingkat pengetahuan gizi ibu baik kategori cukup  dan kurang  sebesar 50 %. Hasil uji statistik  menunjukkan bahwa  variabel kecukupan kalori, protein dan gejala penyakit infeksi ada hubungan signifikan p<0,05 dengan pertumbuhan anak baduta  tetapi variabel pengetahuan gizi ibu dengan pertumbuhan anak baduta tidak signifikan.

Kata Kunci : Pengetahuan Gizi Ibu, Penyakit Infeksi, Tingkat Kecukupan Zat Gizi, 
                     Pertumbuhan .
                 

PENDAHULUAN

Keadaan Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Masalah gizi di samping merupakan sindroma kemiskinan yang erat kaitannya dengan masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga juga menyangkut aspek pengetahuan dan  perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan, yaitu status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi serta ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo, 2003).  Penduduk akan beruntung dengan bertambahnya pengetahuan mengenai gizi dan cara menerapkan informasi tersebut untuk orang yang berbeda tingkat usianya dan keadaan fisiologisnya (Suhardjo, 2003)
Data hasil laporan bulan Juni 2008 di Kabupaten Timor Tengah Utara, menunjukkan bahwa  hasil cakupan Pemantauan Pertumbuhan (N/D) anak  Baduta  sebesar  65,6 %, sedangkan   hasil Pemantauan Pertumbuhan   masing-masing puskesmas di Kabupaten Timor Tengah Utara adalah Puskesmas  Eban 67,5 %, Puskesmas Oeolo 67,7 %, Puskesmas Nunpene 66,8 %, Puskesmas Sasi 71,3 %, Puskesmas Noemuti 18,7 %, Puskesmas Oemeu 70,7 %, Puskesmas Maubesi 68,8 %, Puskesmas Oelolok 57,5 %, Puskesmas Wini 75,6 %, Puskesmas Manufui  65,2 %,  Puskesmas  Lurasik 60 %,  Puskesmas Kaubele 74,4 %,  Puskesmas Ponu 85,1 %, dan Puskesmas Bitefa 59,8 %.  dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) belum mencapai  80 %. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Timor Tengah Utara masih mengalami gangguan pertumbuhan pada balita bawah dua tahun.
Berdasarkan data pemantauan pertumbuhan yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Timor Tengah Utara maka indikator pemantauan pertumbuhan masih di  bawah target.  Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu, Gejala Penyakit Infeksi   dan Tingkat Kecukupan  Zat Gizi Terhadap  Pertumbuhan Anak  Baduta di Puskesmas Noemuti Kecamatan Noemuti  Kabupaten Timor Tengah Utara”.


METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan menggunakan pendekatan studi cross sectional.  Penelitian ini telah dilakukan di Wilayah Puskesmas Noemuti  Kecamatan Noemuti  Kabupaten Timor Tengah Utara. Penelitian berlangsung selama 6 bulan, yaitu sejak bulan Januari hingga Juni 2009.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak  bawah dua tahun dengan umur 12-23 bulan yang ada  di Wilayah kerja  Puskesmas Noemuti Kecamatan Noemuti  Kabupaten  Timor Tengah Utara.  Sampel  dalam   penelitian   ini  adalah  semua  anak  baduta  dengan umur 12-23 bulan dan mengikuti penimbangan di posyandu 2 bulan terakhir secara berturut-turut  di Wilayah Kerja Puskesmas Noemuti  Kecamatan Noemuti sebesar 68  anak baduta.
Data primer meliputi : tingkat pengetahuan gizi ibu, konsumsi anak baduta, gejala penyakit infeksi anak baduta, dan  pertumbuhan anak baduta.  Sedangkan data sekunder yang diambil adalah gambaran umum  Puskesmas Noemuti Kecamatan Noemuti Kabupaten Timor Tengah Utara. Instrumen yang dapat digunakan untuk  pengumpulan data, yaitu : Lembar kuisioner, Food Recall konsumsi pangan 1 x 24 jam, Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), Tabel Daftar Angka Kecukupan Gizi (DAKG), Daftar Bahan Penukar , Timbangan Berat Badan (dacin 25 Kg), dan KMS Balita. 

Data hasil Food Recall konsumsi pangan 1 x 24 jam dengan sistem URT dikonversikan kedalam satuan internasional (gram). Kemudian diolah secara manual dengan menggunakan DKBM, Daftar Makanan Penukar, dan Tabel AKG.  Kemudian data dianalisis dan diuji secara statistik dengan menggunakan uji Koefisien Contingensi dengan skala data nominal dan uji statistik ”Koefisien Korelasi Rangking Spearman (rs) dengan 95 %  Confidience Interval  dengan skala data ordinal.
Dilanjutkan dengan uji signifikansi rs dilakukan dengan statistik uji t.   Kaidah pengujian Hipotesis Nol (Ho) ditolak jika t > t ά/2 (k-2) atau probabilitas uji dua pihak (2-tailed Signifikansi) <  ά (0,05).
 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan mulai dari usia anak sampai dewasa. Sistem pendidikan dibedakan menjadi pendidikan formal dan non formal. Tujuan akhir dari suatu pendidikan pada dasarnya adalah menghilangkan faktor-faktor perilaku dan social budaya yang merupakan hambatan bagi perbaikan kesehatan, menimbulkan perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga baik individu maupun masyaraka dalam meningkatkan taraf kesehatannya (Karo-Karo,  dalam Haning, 2008)
Hasil penelitian  menunjukkan bahwa sebagian  besar (>50%) ibu anak baduta berpendidikan SD dan sebagian kecil berpendidikan Perguruan Tinggi. Tingkat pendidikan ibu yang rendah dapat menyebabkan  penyerapan informasi menjadi tidak maksimal.  Toyo, (2008) menjelaskan tingkat pendidikan suatu bangsa akan mempengaruhi perilaku masyarakat, makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat makin tinggi kesadaran kesehatannya. Makin tinggi tingkat pendidikan ibu makin memberi dampak positif terhadap kesehatan.

Tingkat Kecukupan Zat Gizi
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar (77,9 %) anak baduta mengalami kekurangan energi.  Hal ini berarti bahwa kekurangan energi akan dapat menyebabkan penurunan berat badan sehingga akan menghambat pertumbuhan.
Almatsier (2002) mengatakan bahwa manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein yang ada dalam bahan makanan. Kandungan karbohidrat, lemak dan protein suatu makanan menentukan nilai energinya.   Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi  melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Bila kekurangan energi pada bayi dan anak-anak akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga akan menghambat pertumbuhan. Kekurangan energi berat pada bayi dan balita disebut marasmus.
 Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak baduta mengalami kekurangan protein sebanyak 75 %.  Kesimpulan bahwa kekurangan protein akan menyebabkan pertumbuhan terhambat. Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun. Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang disebut Kurang Energi-Protein (KEP) (Almatsier, 2002).

Gejala Penyakit infeksi 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (51,5%) anak baduta dengan gejala sakit. Suhardjo (2003)  mengatakan bahwa  Infeksi dan demam dapat menyebabkan merosotnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencernakan makanan. Parasit dalam usus, seperti  cacing gelang dan cacing pita bersaing dengan tubuh dalam memperoleh makanan dan dengan demikian  menghalangi zat gizi ke dalam darah. Bayi dan anak-anak muda yang kesehatannya buruk, adalah sangat rawan karena pada periode itu kebutuhan zat gizi dipergunakan untuk pertumbuhan cepat.
Infeksi dan gizi kurang terdapat interaksi bolak balik, infeksi dapat menyebabkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme. Walaupun terjadi infeksi ringan sudah menimbulkan kehilangan nitrogen (Suhardjo, 2003).

Pengetahuan Gizi Ibu
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa  distribusi pengetahuan gizi ibu baik  kategori cukup maupun kurang tidak ada perbedaan. Pengetahuan ibu rumah tangga yang kurang akan menimbulkan bermacam permasalahan yang timbul seperti salah pemilihan dan jumlah makanan  beragam, cara memperlakukan bahan makanan dalam pengolahan terlalu berlebihan, sehingga banyak zat gizi yang hilang serta cara memanfaatkan potensi alam kurang (Khumaidi,  dalam Bagul 2003).  
Menurut Susanto, dalam Septiani 2008 pengetahuan gizi ibu dapat diperoleh melalui pengalaman, media masa, pengaruh kebudayaan atau pendidikan baik formal maupun in formal. Suhardjo, (2003) pengetahuan gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor, di samping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial serta frekuensi kontak dengan media masa juga dapat mempengaruhi pengetahuan gizi.   Ahmadi, (2003) salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan menerapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari-hari.



Analisis Hubungan Tingkat Pengetahuan Gizi  Ibu dengan Pertumbuhan Anak Baduta.
Hasil analisis statistic diperoleh nilai r= -0,156 dan nilai p=0,203. Maka dapat disimpulkan bahwa  hubungan pengetahuan gizi ibu dengan pertumbuhan anak baduta  menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif artinya walaupun ibu dengan pengetahuan gizi cukup tetapi  pertumbuhan tidak naik. Hasil uji statistik  menunjukkan tidak  ada hubungan yang signifikan  antara tingkat kecukupan zat gizi dengan pertumbuhan anak baduta (p=0,203 > 0,05).
Kurangnya pengetahuan ibu dan salah satu presepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum di setiap negara. Kemiskinan dan kekurangan ketersediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi. Sebab lain dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi untuk menerapkan informasi gizi dalam kehidupan sehari-hari.
Husaini, dalam Uzzer 1997 menyatakan bahwa informasi yang dimiliki seorang ibu tentang kebutuhan akan zat gizi dapat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, semakin tinggi pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang lebih murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi.

Analisis Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Pertumbuhan Anak Baduta.

Pada hasil analisis statistic  diperoleh nilai r= 0,293 dan nilai p=0,015. Maka dapat disimpulkan bahwa  hubungan tingkat kecukupan energi dengan pertumbuhan anak baduta  menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin cukup energi yang dikonsumsi   maka  semakin naik pertumbuhan. Hasil uji statistik  menunjukkan  ada hubungan yang signifikan  antara tingkat kecukupan zat gizi dengan pertumbuhan anak baduta (p=0,015 < 0,05).
Depkes RI, (2003) bahwa secara langsung masalah gizi dipengaruhi langsung oleh tidak-cukupnya konsumsi energi, protein dan zat gizi lain serta adanya infeksi penyakit.   Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sebanyak 12 dari 33 (36,4%) pertumbuhan  naik dengan   kategori  protein  cukup. Sedangkan diantara yang pertumbuhan tidak naik ada 5 dari 35  (14,3 %) dengan kategori protein cukup.  Pada hasil diatas diperoleh nilai r= 0,302 dan nilai p=0,016. Kesimpulan dari hasil tersebut: hubungan tingkat kecukupan protein dengan pertumbuhan anak baduta  menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya semakin tinggi tingkat kecukupan zat gizi semakin naik pertumbuhan. Hasil uji statistik  didapat ada hubungan yang signifikan  antara tingkat kecukupan protein dengan pertumbuhan anak baduta (p=0,012 < 0,05).
Darwin dan Muhilal, (1992) bahwa dalam kehidupan sehari-hari keluarga dihadapkan pada penentuan jenis menu untuk keluarga. Disini dikaitkan antara kecukupan zat gizi yang perlu dicapai, susunan bahan makanan, dan komposisi kandungan zat gizi setiap bahan makanan tersebut. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimat diperlukan sejumlah zat gizi  yang harus didapatkan dari makanan dalam jumlah yang sesuai dengan yang dianjurkan setiap harinya.
Satoto, (1990) dalam penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan anak di Jawa Tengah mengemukakan  bahwa lingkungan asuhan anak, konsumsi anak terutama energi  dan protein serta zat  besi dan keadaan gizi dan kesehatan ibu merupakan determinan kuat pertumbuhan dan perkembangan anak.
Achmad (1999)  pertumbuhan berat badan pada kelompok balita merupakan parameter yang paling sesuai karena cukup sensitif, erat hubungannya dengan konsumsi energi dan protein yang merupakan dua jenis zat gizi yang paling sering menimbulkan problem kesehatan gizi pada skala nasional. Hambatan kemajuan pertumbuhan berat badan anak balita yang dipantau dapat segera terlihat pada grafik pertumbuhan hasil pengukuran yang dicatat pada KMS.

Analisis Hubungan Gejala Penyakit Infeksi dengan Pertumbuhan Anak Baduta.
Pada hasil analisis statistik diperoleh nilai C= 0,282 dan nilai p=0,016. Kesimpulan bahwa  hubungan gejala penyakit infeksi  dengan pertumbuhan anak baduta  menunjukkan hubungan yang sedang dan berpola positif artinya anak baduta dengan gejala penyakit infekai akan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Hasil uji statistik  menunjukkan  ada hubungan yang signifikan  antara gejala penyakit infeksi dengan pertumbuhan anak baduta (p=0,016 < 0,05).
Menurut Berg, (1986) bahwa status gizi anak tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat konsumsi saja tetapi juga dipengaruhi oleh faktor biologi, lingkungan, iklim dan tingkat sosial ekonomi. Depkes RI, (2002) bahwa gangguan pertumbuhan dalam waktu singkat sering terjadi pada perubahan berat badan sebagai akibat menurunnya nafsu makan, penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan, atau karena kurang cukupnya makanan yang dikonsumsi.
Depkes RI, (2003) menjelaskan penyebab utama gangguan pertumbuhan, gizi kurang serta gizi buruk pada balita bukan hanya kekurangan konsumsi makanan melainkan penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak balita. Penyakit infeksi mengganggu metabolisme sehingga mempengaruhi tingkat konsumsi zat gizi, membuat ketidakseimbangan hormon dan mengganggu fungsi imunitas.
PENUTUP
Simpulan
1.      Hasil uji statistik koefisien korelasi rangking spearman menunjukkan  tidak ada hubungan yang signifikan  antara pengetahuan gizi ibu  dengan pertumbuhan anak baduta  dengan      nilai p = 0,203>0,05
2.       Hasil uji statistik koefisien kontingensi menunjukkan  ada hubungan yang signifikan  antara gejala penyakit infeksi dengan pertumbuhan anak baduta  dengan nilai p = 0,016<0,05.
3.       Hasil uji statistik koefisien korelasi rangking spearman menunjukkan  ada hubungan yang signifikan  antara tingkat kecukupan energi dengan pertumbuhan anak baduta  dengan nilai  p=0,015<0,05.
4.       Hasil uji statistik koefisien korelasi rangking spearman menunjukkan  ada hubungan yang signifikan  antara tingkat kecukupan protein dengan pertumbuhan anak baduta  dengan nilai  p=0,012<0,05.



DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Kertasapoetra. 2005. Ilmu Gizi.  Korelasi Gizi, Kesehatan dan produktifitas Kerja. Jakarta. PT Asdi Mahasatya.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.
Depkes R.I. 2002. Buku Belajar Sendiri. Keluarga mandiri Sadar Gizi untuk Tenaga Penggerak Masyarakat dan Kader. Jakarta. Direktorat Bina Gizi.
Depkes R.I. 2005. Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun. Jakarta.   Direktorat Bina Gizi.
Depkes R.I. 2002. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Direktorat Bina Gizi.
Depkes R.I.2000. Pedoman Kampanye. Keluarga Mandiri  Sadar Gizi. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat.
Depkes R.I. 2000. Rencana Akzi Pangan  dan Gizi Nasional 2001-2005. Jakarta: Program Perbaikan Gizi.
Depkes R.I. 2003. Panduan Umum Keluarga  Mandiri Sadar Gizi. Jakarta: Program Perbaikan Gizi.
Depkes R.I.2002. Gizi seimbang Menuju Hidup Sehat bagi Balita. Jakarta: Program Perbaikan Gizi.(MP-ASI Lokal). Jakarta. Bina Gizi Masyarakat.
Depkes R.I.2006. Pedoman Umum Pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu
Supariasa, IDN, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta. Kedokteran 
Suhardjo.  2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta. Aksara Bumi.
Sugiyono.  2001. Statistika Non Parametrik untuk Penelitian. Bandung. Alfa Beta.
Wijaya.  2001. Statistika Non Parametrik. Aplikasi Program SPSS. Bandung. Alfa Beta.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi   di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.